Jumat, 06 Juni 2014

JEJAK EKOLOGIS

JEJAK EKOLOGIS



*  Pengertian Jejak Ekologis
Setiap makhluk, manusia, binatang atau tumbuhan, merindukan kehidupan. Akan tetapi, tidak ada makhluk yang mampu memuaskan nafsu kehidupannya tanpa membatasi kualitas kehidupan makhluk yang lain. Hal ini berlaku terutama bagi manusia dengan nafsu atas kesejahteraan sosial, kenikmatan, dan keuntungan material yang tidak dapat terpenuhi. Dalam hal ini diadakan dua percobaan untuk menyeimbangkan ketidakseimbangan tersebut, yaitu kode etik lingkungan dan jejak ekologis (ecological footprint).
Istilah jejak kaki atau footprint telah dikenal secara umum dalam pengelolaan sumber daya alam di dunia internasional sebagai metode perhitungan kuantitatif yang menunjukkan pemanfaatan sumber daya alam oleh manusia dalam kehidupannya sehari-hari. Saat ini telah dikenal tiga jenis footprint dalam kehidupan sehari-hari, yaitu 1) ecological footprint, 2) carbon footprint dan 3) water footprint. Satuan dan sumber daya yang dianalisis secara spesifik oleh masing-masing jenis footprint tersebut berbeda-beda.
Ecological Footprint (Jejak Ekologis) adalah alat bantu untuk dapat kita pergunakan dalam mengukur penggunaan sumber daya dan kemampuan menampung limbah dari populasi manusia dihubungkan dengan kemampuan lahan, biasanya dinyatakan dalam hektar. Jejak ekologi pada asasnya ialah kemampuan sumber tanah dan air menyediakan sumber yang diperlukan oleh manusia (makanan, minuman, tempat tinggal dan lain-lain) serta kemampuan untuk bumi untuk menyerap semua bahan buangan manusia sesudah mereka menggunakannya. Dengan kata lain sumber yang digunakan oleh manusia dibandingkan dengan kemampuan bumi untuk menghasilkan semua bahan yang sudah digunakan. Konsep ini pada awalnya dibangunkan oleh Profesor Willian Rees dari Universiti British Colombia pada tahun 1992. Sebuah pendekatan yang baru-baru ini populer dengan Ecological Footprint menjadi alat ukur yang mengkaji tingkat konsumsi manusia dan dampaknya terhadap lingkungan. Konsep "Jejak Ekologis" (Ecological Footprint) diperkenalkan pada tahun 1990-an oleh William Rees dan Mathis Wackernagel  (Wackernagel and Rees, 1996).
Ecological footprint difokuskan untuk menghitung penggunaan lahan bioproduktif yang digunakan untuk menyokong populasi dunia dan dinyatakan dalam satuan hektar. Perhitungan carbon footprint dititikberatkan pada penghitungan penggunaan energi yang dinyatakan dalam volume emisi karbondioksida (CO2) menggunakan satuan ton. Water footprint adalah jenis footprint yang terakhir. Footprint ini menghitung penggunaan air untuk menyokong kehidupan manusia yang dinyatakan dalam satuan volume air (M3).
Konsep ecological footprint (EF), atau jejak kaki ekologis, pertama kali diperkenalkan oleh William Rees dan Martin Wackernagel pada tahun 1990-an. Konsep ini pada dasarnya dikembangkan sebagai usaha pencarian indikator untuk pembangunan berkelanjutan dan khususnya diharapkan dapat menjadi metode untuk mengukur secara kuantitatif mengenai hubungan perlakuan manusia terhadap bumi dengan daya dukung yang dimiliki oleh bumi itu sendiri. Konsep ini menegaskan bahwa hampir semua tindakan dan perilaku hidup manusia, misalnya perilaku konsumsi dan transportasi, akan membawa dampak ekologis atau dampak bagi lingkungan. Pendekatan ecological footprint dapat digunakan untuk mendidik masyarakat mengenai penggunaan sumber daya alam yang berlebihan dan kemampuan daya dukung bumi untuk menyokong keberlanjutan hidup mereka. Pendekatan ini dapat digunakan sebagai indikator keberlanjutan. Pendekatan ini juga memberikan penjelasan mengenai dampak perilaku manusia terhadap lingkungan dan dapat menghubungkannya dengan daya dukung bumi.
Jenis analisis footprint yang kedua adalah Analisis carbon footprint (CF). Carbon footprint adalah indikator mengenai dampak aktivitas manusia terhadap iklim global yang dinyatakan dalam jumlah gas rumah kaca (GRK) yang diproduksi. Carbon footprint secara konseptual menggambarkan kontribusi individu atau negara terhadap pemanasan global. Carbon footprint dapat menunjukkan total emisi karbondioksida (CO2) dan gas rumah kaca lainnya yang diemisikan pada seluruh proses untuk menghasilkan produk atau jasa.
Jenis analisis footprint yang terakhir adalah analisis water foootprint (WF). Water footprint dikembangkan oleh Hoekstra pada tahun 2002. Water footprint dapat merepresentasikan jumlah volume air tawar yang dibutuhkan untuk menjaga keberlanjutan suatu populasi, seperti yang diungkapkan oleh Madrid et al “The water footprint represents the freshwater volume required to sustain a population” (Madrid et al., not dated). Hoekstra dan Chapagain (2004) dalam laporan hasil penelitiannya mendefinisikan water footprint individu, bisnis atau negara adalah total volume air tawar yang digunakan untuk memproduksi makanan dan jasa yang dikonsumsi oleh individu, bisnis atau negara. Nilai water footprint umumnya dinyatakan dalam satuan volume air yang digunakan setiap tahunnya. Saat ini, water footprint telah berkembang menjadi alat analisis yang digunakan untuk mengarahkan perumusan kebijakan kearah isu-isu mengenai keamanan air dan penggunaan air yang berkelanjutan di negara maju.

*  Indikator Jejak Ekologis
Kebebasan manusia untuk memilih dan tugas untuk merawat dunia ini dengan penuh rasa tanggung jawab dan secara berkesinambungan adalah dasar etika lingkungan. Selama agama-agama belum mampu atau enggan memikul tanggung jawab etika lingkungan, maka etika lingkungan masih menjadi tuntutan umum. Etika lingkungan dapat dituangkan dalam satu kalimat saja, tetapi perekayasaannya amat berat. Memikirkan etika lingkungan secara mendalam, misalnya pada contoh mobilitas, makin jelas bahwa arah yang telah kita tempuh merupakan jalan buntu, kita harus mengubah pikiran.
Jejak ekologis mengukur kebutuhan bahan baku alam yang digunakan oleh setiap bangsa dan setiap orang. Jejak ekologis menghitung luasnya tanah subur, air tawar, lautan, dan banyaknya energi yang tidak terbarukan dan yang dibutuhkan manusia untuk memenuhi kebutuhan atas pangan, sandang, papan, serta mobilitas.
Jejak ekologis dari semua penduduk bumi pada saat ini mencapai 2,2 hektar, sedangkan luas lahan subur di dunia mencapai 1,8 hektar per orang. Hal ini berarti bahwa cara kehidupan masa kini telah melebihi kemampuan bumi dan mengancam keberlanjutan kehidupan pada planet ini.  Untuk mengukur jejak ekologis dibutuhkan indikator-indikator seperti :
1.  Berapa luas lahan pertanian yang dibutuhkan untuk menumbuhkan semua makanan seperti beras, sayuran, rempah-rempah, buah-buahan, tebu, teh, kopi, dan sebagainya;
2. Berapa luas lahan pertanian yang dibutuhkan untuk peternakan seperti rumput, jagung, kacang kedelai untuk menghasilkan daging, telur, kulit, dan sebagainya;
3.  Berapa luas lahan pertanian yang dibutuhkan untuk menumbuhkan serat-serat seperti kapok, linen, katun, murbai untuk menghasilkan pakaian dari kain linen, kain katun, kain sutra, dan sebagainya;
4.  Berapa luas danau dan laut untuk menghasilkan ikan yang akan dimakan;
5. Berapa luas lahan yang dibutuhkan untuk membangun gedung dan jaringan infrastruktur termasuk bahan bangunan seperti pasir, kerikil, batu alam, dan sebagainya; serta
6. Berapa luas hutan untuk menghasilkan kayu yang dibutuhkan dan hutan yang diperlukan untuk mengikat CO2 yang terjadi oleh pembakaran minyak bumi dan gas.
Dengan perhatian atas jejak ekologis bumi, maka dapat diperhatikan masalah sebagai berikut : jejak ekologis dari semua penduduk bumi mencapai 2.2 ha, sedangkan luas lahan subur di dunia mencapai 1.8 ha per orang. Bagaimana hal ini dapat terjadi dan pemecahan apa yang dapat dilakukan pada persoalan ini? Tentu saja, bumi ini hanya dalam jangka waktu terbatas dapat dieksploitasi sebegitu banyak.
Dalam jangka waktu 1961-2001 penduduk dunia berkembang dua kali lipat. Ketika penggunaan lahan untuk infrastruktur dan untuk pertanian meningkat sedang, penggunaan lahan untuk energi meningkat tajam. Bagaimana hal ini dapat terjadi dan pemecahan apa yang dapat dilakukan pada persoalan ini? Di bidang penggunaan lahan untuk menghasilkan pangan yang menunjukkan kenaikan besar adalah padang rumput (karena kenaikan kebutuhan atas daging) serta perikanan (masalah kelebihan penangkapan ikan telah mewujudkan hasil penangkapan ikan yang turun dari tahun ke tahun dan banyak jenis ikan akan punah).
Barang-barang konsumsi yang dihabiskan oleh manusia ternyata ada yang melebihi cadangan bumi. Hal ini merupakan kenyataan yang tidak berkesinambungan dan tidak dapat dipertahankan dalam jangka panjang. Perlu diperhatikan bahwa rantai pangan juga mengandung unsur energi yang tidak kecil dan termasuk juga penggunaan lahan untuk infrastruktur dan pabrik bahan pangan.
Di bidang kebutuhan energi air, energi nuklir, energi kayu api, minyak dan gas bumi penggunaan energi fosil meningkat 17 kali lipat. Bagaimana hal ini dapat terjadi dan pemecahan apa yang dapat dilakukan pada persoalan ini? Hal ini memperluas area hutan yang dibutuhkan untuk mengikat CO2 tersebut. CO2 yang diakibatkan oleh pembakaran minyak bumi dan gas mempengaruhi luasnya hutan yang dibutuhkan untuk mengikat CO2 tersebut (untuk setiap kendaraan bermotor dibutuhkan rata-rata 5 m2 hutan). Di sisi lain, hutan memproduksi oksigen yang menjadi dasar kehidupan. Setiap pohon besar mampu memproduksi 4.580 kg O2/tahun (cukup untuk 4 orang dewasa, atau menggerakkan mobil sedan sejauh 4.500 km = 2x Banyuwangi-Merak pp).
Semakin besar kiraan global hektar semakin besar jejak ekologi. Semakin besar jejak ekologi, maksudnya sumber alam digunakan secara berleluasa tanpa perancangan yang baik. Ini berlaku kerana permintaan terhadap sumber alam terlalu banyak mengatasi kemampuan bumi untuk menghasilkan semula bahan yang sudah digunakan. Jadi jejak ekologi merupakan konsep yang sangat berkait dengan pembangunan yang lestari serta penerapan konsep kehidupan yang mesra alam. Pembangunan yang terancang serta mementingkan konsep mesra alam menjadi petunjuk jejak ekologi yang rendah. Setiap aspek akan diambil kira untuk membangunkan sektor ekonomi seperti tenaga yang digunakan penggunaan ruang tanah, kesan akibat penggunaan sumber alam tadi dan langkah penyesuaian atau pemeliharaan serta pemuliharaan untuk mengekalkan keseimbangan ekologi demi generasi akan datang.

*  Perhitungan Jejak Ekologi
Perhitungan jejak ekologi (ecological footprint) didasarkan pada enam asumsi dasar (Wackernagel et al., 2002 in Wackernagel et al., 2008) yaitu :
1.    Sebagian besar konsumsi sumber daya dan limbah yang dihasilkan manusia dapat dilacak
2.    Kebanyakan aliran sumber daya alam dan limbah dapat dihitungh ke dalam area biologi produktif untuk menelusuri alirannya. Sumber daya alam dan limbah yang tidak dapat dihitung dikeluarkan dari penilaian, yang menjadikan hasil perhitungan jejak ekologi ini di bawah keadaan yang sebenarnya.
3.    Dengan pembobotan masing-masing daerah ke dalam proporsi produktifitas biologi yang digunakan, area yang berbeda dapat dikonversi ke dalam satuan umum global hektar, yaitu hektar dengan rata-rata produktifitas biologi dunia.
4.    Karena satuan global hektar tunggal menyatakan satu jenis penggunaan, dan semua global hektar pada satu tahun menyatakan jumlah produktifitas yang sama, maka global hektar dapat dijumlahkan untuk mendapatkan indicator agregat jejak ekologi atau daya dukung lingkungan.
5.    Permintaan manusia, dinyatakan sebagai jejak ekologi, dapat secara langsung dibandingkan dengan pasokan alam, daya dukung lingkungan, ketika keduanya sama-sama dinyatakan dalam global hektar.
6.    Luas area permintaan dapat melebihi luas area yang disediakan jika permintaan pada ekosistem melebihi kapasitas regenerative ekosistem (misalnya, manusia menuntut lebih dibandingkan daya dukung hutan, perikanan, dari ekosistem yang telah tersedia). Situasi ini, dimana jejak ekologi melebih tersedia daya dukung lingkungan, dikenal sebagai overshoot.
Dalam perhitungan jejak ekologi, daratan dan lautan produktif digolongkan menjadi tujuh jenis type dasar:
1. Lahan pertanian, adalah lahan yang paling produktif secara hayati dibandingkan dengan semua jenis penggunaan lahan. Digunakan untuk menghasilkan semua produk tanaman, tanaman sawit dan karet.
2.  Lahan penggembalaan, adalah padang rumput dan tanah dan pepohonan jarang yang digunakan untuk menghasilkan pakan ternak.
3.  Lahan hutan, adalah hutan alami atau hutan tanam yang bisa menghasilkan produk kayu bulat maupun kayu bakar.
4.   Lahan perikanan, merupakan daerah tangkapan komersil yang sekitar 300 km dari pantai karena daerah pesisir merupakan daerah laut yang paling produktif.
5.  Lahan penyerap karbon, merupakan lahan hutan yang diperlukan untuk penyerapan emisi karbon yang dihasilkan manusia.
6. Lahan terbangun, adalah lahan yang dihitung berdasarkan luas tanah yang ditutupi oleh infrastruktur, transportasi, perumahan, struktur industry dan waduk untuk pembangkit tenaga listrik. Dengan asumsi bahawa apa yang dibangun akan menempati lahan yang sebelumnya merupakan lahan pertanian, kecuali kita memiliki bukti spesifik bahwa asumsi ini tidak berlaku. Asumsi ini didasarkan pada pengamatan bahwa pemukiman manusia yang umumnya terletak di daerah yang sangat subur dengan potensi untuk menghasilkan lahan pertanian unggulan. Tanah terbangun memiliki produktifitas secara hayati setara dengan jejak ekologi karena keduanya menjelaskan perambahan lahan produktif secara hayati oleh infrastruktur fisik.
7. Lahan keanekaragaman hayato, adalah digunakan untuk menjaga kelangsungan hidup spesies selain manusia, yang besarnya 12 persen dari total lahan dunia.
Perhitungan jejak ekologi dibagi menjadi 3 tahap utama. Jejak ekologi individu dihitung berdasarkan semua material biologi yang dikonsumsi dan semua sampah biologi yang dihasilkan oleh tiap individu. Dan untuk menghitung jejak ekologi suatu daerah diperoleh dengan cara menjumlahkan jejak ekologi semua penduduk di daerah tersebut.
Tahap pertama adalah analisis konsumsi sumber daya biotik (pangan) dengan cara menambahkan produksi dan impor lalu dikurangi dengan ekspor. Alternatif lain dengan cara menggunakan data konsumsi penduduk yang didapat secara primer. Jika diperlukan, penyesuaian dilakukan untuk menghindari perhitungan dobel tipe lahan. Contoh, pakan ternak berupa biji-bijian dimasukkan dalam perhitungan lahan pertanian tidak pada lahan rumput penggembalaan. Perhitungan luas lahan yang dibutuhkan untuk konsumsi pangan didapat dengan cara membagi jumlah pangan yang dikonsumsi per tahun (ton) dengan produksi tipe lahan atau laut tertentu per tahun (ton per hektar) dari tempat asal panen.
Langkah ke dua menentukan luas jejak ekologi dari sampah yang dihasilkan. Dari perspektif jejak ekologi ada 3 kategori sampah dan masing-masing kategori berbeda penanganannya dalam jejak ekologi.
Kategori pertama adalah sampah biologi seperti sisa produk pertanian, produk hewan, produk ikan, kayu dan karbon dioksida yang dihasilkan oleh kayu bakar dan pembakaran bahan bakar fosil sudah termasuk di dalam secara implisit dalam jejak ekologi jika sampah ini dihasilkan di dalam suatu proses biologi tertutup. Contoh, lahan penggembalaan sapi seluas 1 hektar mampu menghasilkan produksi biomassa dan untuk menyerap sampah biologi yang dihasilkan. Penyerapan sampah yang dihasilkan dari material biologi yang dipanen tidak dihitung dalam jejak ekologi. Begitu pula dengan CO2 yang dihasilkan oleh tumbuhan dan pernafasan manusia, karena sampah ini dihasilkan dalam suatu proses proses biologi tertutup. Namun CO2 yang dihasilkan oleh akibat pembakaran kayu bakar ataupun bahan bakar fosil dihitung karena sampah ini dihasilkan oleh aktifitas non biologi manusia. Adapun lahan yang dibutuhkan untuk menyerap sampah CO2 ini disebut dengan lahan penyerap karbon. Kemampuan rata-rata hutan dalam penyerapan karbon dan jumlah emisi CO2 yang dihasilkan adalah data dasar yang dibutuhkan dalam perhitungan lahan penyerap karbon. Pada perhitungan lahan penyerap karbon tingkat local, maka kemampuan rata-rata penyerapan karbon hutan tergantung pada jenis ekosistem hutan local. Hutan alami merupakan penyimpan karbon (C) tertinggi bila dibandingkan dengan sistem penggunaan lahan (SPL) pertanian, dikarenakan keragaman pohonnya yang tinggi, dengan tumbuhan bawah dan seresah di permukaan tanah yang banyak.
Kategori sampah yang ke dua adalah material yang secara khusus dikirim pada suatu lahan. Jika lahan yang digunakan adalah lahan produktif, maka jejak lahan ini dihitung sebagai lahan terbangun yang dipakai sebagai tempat penyimpanan sampah jangka panjang. Contohnya adalah tempat pembuangan sampah akhir (TPA).
Kategori sampah yang ketiga adalah polutan dan racun yang tidak bisa diserap ataupun diuraikan oleh proses biologi seperti plastik atau senyawa kimia. Karena jejak ekologi menghitung lahan produktif yang digunakan untuk memproduksi materi atau menyerap sampah, materi seperti plastik dan senyawa kimia tidak dihasilkan oleh proses biologi atau diserap oleh sistem biologi, maka sampah jenis ini tidak terdefinisi dalam jejak ekologi. Sehingga sampah ini tidak masuk dalam perhitungan jejak ekologi.
Tahap terakhir perhitungan adalah menjumlahkan jejak ekologi ke dalam enam tipe lahan yang merupakan gambaran konsumsi per kapita. Data per kapita yang dikalikan dengan jumlah penduduk suatu daerah menggambarkan jejak ekologi daerah tersebut. Hasil ini kemudian dibandingkan biokapasitas lahan yang ada.

*  Jejak Ekologis dan Pengaruh Atas Pembangunan
Ketentuan bahwa 50% dari segala bahan yang diambil dari bumi yang akan digunakan di bidang pembangunan harus dipertimbangkan kembali. Dalam angka absolute, hal ini berarti bahwa pembangunan global membutuhkan 600.000.000 m3 bahan baku setiap tahun dan dengan begitu pengaruhnya atas jejak ekologis sangat berarti. Keadaan tersebut menunjukkan betapa penting perhatian pada rantai bahan dan pelaksanaan manajemen bahan bangunan. Selain eksploitasi bahan bangunan tersebut, perpindahan bahan itu dari tempat semula ke tempat bangunan bisa juga sangat jauh dan dengan demikian mencemari lingkungan dan memperluas jejak ekologisnya.
Tumbuhan sebagai makhluk tetap berada di tempat pengolahan sampah dalam rangka kerja sama dengan organisme perombak sehingga lingkungan hidupnya tetap terjaga. Lain halnya dengan makhluk yang dapat berpindah-pindahh tempat, misalnya manusia. Ketidakperhatian pada rantai bahan sebagai peredaran alam mengakibatkan penyakit menular dan merusak lingkungan alam sekitar. Pengertian rantai bahan sebagai sistem linear, yaitu bahan alami dieksploitasi/dipanen kemudian diolah, dimanfaatkan, dan akhirnya dibuang sebagai sampah seharusnya diubah menjadi peredaran bahan yang makin lama makin integral.

*  Implementasi Penghitungan Jejak Ekologis
Kajian jejak ekologis telah diterapkan di Indonesia oleh beberapa institusi, diantaranya yang baru saja selesai dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum, yaitu pada setiap provinsi di pulau Sumatera, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Papua, dan kepulauan Maluku. Tulisan ini tidak dalam kapasitas untuk menganalisis dan menilai hasil penghitungan yang telah dilakukan. Tetapi berdasarkan metode dan proses penghitungannya, selayaknya hasil penghitungan tersebut menjadi masukan bagi perencanaan pembangunan, baik kewilayahan (regional) maupun sektoral.
Sangat disadari bahwa dalam penghitungan telapak ekologis banyak asumsi yang digunakan, antara lain dalam mengkonversi berbagai jenis produksi hayati, dan dalam memaknai berbagai jenis konsumsi. Selain itu, penghitungan telapak ekologis juga sangat tergantung pada ketersediaan dan akurasi data. Oleh karena itu, pemahaman terhadap setiap tahap dan komponen penghitungan sangatlah penting dalam pemaknaan hasil akhir penghitungan.
Terlepas dari tujuan global penghitungan telapak ekologis, yaitu untuk pembandingan pola dan tingkat produksi dan konsumsi antar negara, komponen penghitungan telapak ekologis cukup menunjukkan bahwa banyak aspek pembangunan yang seharusnya bisa mengacu kepada angka yang diperoleh dari setiap tahap penghitungan, tidak hanya dari angka hasil akhir. Perbandingan kapasitas hayati antar masing-masing jenis penggunaan lahan pada suatu wilayah; perbandingan antara kapasitas hayati (biocapacity) dan telapak ekologis (ecological footprint) untuk masing-masing jenis kapasitas hayati dan telapak ekologis pada suatu wilayah; perbandingan kapasitas hayati dan telapak ekologis antar wilayah; serta ketergantungan produksi hayati suatu wilayah dengan wilayah lain; merupakan contoh komponen penghitungan yang selayaknya diperhatikan dalam perencanaan pembangunan.
Hal lain, memahami bahwa kajian telapak ekologis didasarkan pada penghitungan data statistik, akan sangat bermanfaat apabila kajian ini dipadukan dengan analisis berdasarkan data spasial. Informasi spasial dan statistik akan saling melengkapi serta menjadi acuan yang lebih baik dalam perencanaan pembangunan wilayah. Selain itu, mengantisipasi berbagai dampak lingkungan yang mengindikasikan ketidakberlanjutan, komponen lingkungan hidup lain kiranya dapat diperhatikan pula dalam perencanaan pembangunan, seperti daya dukung air, kemampuan lahan (land capability), dan kerentanan ekosistem.


http://sutrisarisabrinanainggolan.blogspot.com/2013_03_01_archive.html

Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan

Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan

Pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan adalah suatu upaya dalam penggunaan serta pengelolaan sumber daya secara bijak, sadar dan terencana agar pembangunan dapat terus berlangsung dengan tujuan meningkatkan kualitas mutu hidup. Dari pengertian tersebut dapat terlihat bahwa bagaimana caranya agar berbagai kegiatan pembangunan dapat terus berlangsung tetapi tidak melewati batas kemampuan dari lingkungan hidup tersebut, dengan tujuan agar generasi yang akan datang dapat menikmati hal yang sama dengan generasi saat ini.




Tujuan pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan bukan hanya berorientasi pada sisi ekonomi saja, tetapi juga memiliki tujuan sosial serta ekologi. Tujuan ekonominya adalah eko-efisiensi, pertumbuhan ekonomi, stabilitas serta pemerataan; tujuan sosialnya adalah pemberdayaan masyarakat, mengurangi kemiskinan, menciptakan SDM berkelanjutan, memantapkan jati diri bangsa serta kebersamaan dan pembinaan sistem kelembagaan; tujuan ekologinya adalah melestarikan keanekaragaman hayati, mencegah terjadinya pencemaran, interitas ekosistem, lebih irit dalam penggunaan sumber daya alam (SDA) serta memulihkan lingkungan hidup yang rusak.
 
Ciri - ciri dari pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan adalah sebagai berikut :
-         Keseimbangan antara ekonomi dan ekologi.
-  Setiap pembangunan ekonomi mendukung juga   pembangunan sosial dan sebaliknya.
-        Efek positif maupun negatif terhadap lingkungan sudah diprediksi pada saat program pembangunan berjalan, sehingga langkah yang ditempuh dapat meminimalisir efek buruk terhadap lingkungan.

Strategi pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan adalah sebagai berikut :
-          Meningkatkan pertumbuhan
-          Mengubah kualitas pertumbuhan ke arah positif
-          Makanan lebih bergizi dan lebih terjangkau
-          Memenuhi kebutuhan dasar manusia
-          Rumah yang sehat
-          Penggunaan energi yang ramah lingkungan
-          Selalu mempertimbangkan ekologi dan ekonomi setiap kali dalam proses pengambilan keputusan
-          Pemberdayaan masyarakat pedesaan maupun perkotaan
-          Mengendalikan kesenjangan antar wilayah.
Dari penjelasan mengenai pengertian, tujuan, ciri-ciri serta strategi tersebut semoga dapat lebih memahami mengenai konsep pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan.

http://id.shvoong.com/exact-sciences/earth-sciences/2324827-pembangunan-berkelanjutan-berwawasan-lingkungan/

Kamis, 05 Juni 2014

Sistem Panen Hujan

Sistem Panen Hujan






Air merupakan salah satu kebutuhan utama untuk mkebutuhan manusia dan pertumbuhan tanaman yang sehat. Akan tetapi di daerah iklim arid dan semi-arid,  kekurangan auir sering terjadi akibat kurangnya curah hujan. Di daerah seperti ini, laju evapoprasi yang tinggi selama musim tanaman juga lazim terjadi. Hujan di daerah-daerah iklim (semi-)arid, biasanya berupa hujan lebat. Kondisi tanah yang ada tidak dapat menyerap semua air hujan yang volumenya besar dalam waktu singkat. Akibatnya hujan di daerah-daerah (semi-)arid ini biasanya dibarengi dengan volume air limpasan-permukaan (runoff) yang besar.

Faktor-faktor klimatik di daerah arid dan semi-arid ini memngisyaratkan bahwa kita harus dapat memanfaatkan jumlah curah hujan yang terbatas seefisien mungkin. Salah satu cara untuk dapat melakukan hal ini adalah memanfaatkan air limpasan permukaan (runoff) dengan jalan “PEMANENAN AIR”. Cara lain adalah memperbesar infiltrasi dan penyimpanan air hujan dalam tanah (penyimpanan dan konservasi lengas tanah). Keuntungan dari teknik-teknik pemanenan air hujan dan penyimpanannya dalam tanah di daerah arid dan semi arid dapat diikhtisarkan berikut ini. Lebih banyak air tersedia bagi tanaman dapat mewujudkan kepastian produksi dan tingkat hasil tanaman yang lebih tinggi. Selain itu, dengan cara-cara ini dimuingkinkan suplai air bagi tanaman di lahan kering, yang pada kondisi yang biasa tidak dapat berproduksi.

Jumlah air di bumi sangat banyak; namun jumlah air bersih yang tersedia hanya 30 % sisanya adalah air laut belum dapat memenuhi permintaan sehingga banyak orang menderita kekurangan air. Chiras (2009) menyebutkan bahwa kekurangan air dipicu naiknya permintaan seiring peningkatan populasi, tidak meratanya distribusi air, meningkatnya polusi air dan pemakaian air yang tidak efisien, penebangan dan pengalihan fungsi hutan sebagai perkebunan sehingga hutan bukan sebagai penyimpan air bersih. Beberapa penelitian mengindetifikasi bahwa pada  rumah tangga kekurangan air diperburuk kebocoran air akibat kerusakan home appliances yang tidak segera diperbaiki, pemakaian home appliances yang boros air, perilaku buruk dalam pemakaian air, ketiadaan pengolahan limbah yang baik air rumah tangga maupun industri dan minimnya pemanfaatan air hujan sebagai sumber air alternatif. Pemakaian air yang tidak terkontrol  terutama di kota-kota besar akan mengancam keberlanjutan air, sehingga perlu dilakukan konservasi air. Salah satu metode konservasi air dalam rumah tangga adalah memanen air hujan, yaitu mengumpulkan, menampung dan menyimpan air hujan.

Kebanyakan teknik untuk mengumnpulkan air biasanya menggunakan sumber air yang besar seperti sungai dan groundwater (mis. Sumur dan system irigasi), dan memerlukan investasi sekala besar. Tetapi di banyak Negara dunia, beragam metode sekala kecil dan sederhana telah dikembangkan untuk menangkap dan mengumpulkan air limpasan permukaan (runoff) digunakan untuk beragam tujuan produktif. Kalau limpasan permukaan ini dibiarkan saja akan dapat menyebabkan erosi tanah, runoff ini dapat dipanen dan dimanfaatkan.  Beragam teknik memanen air dengan  aneka ragam aplikasinya telah tersedia.

Pemanenan air hujan ini ditujukan untuk memanfaatkan runoff, penyimpanan lengas tanah bertujuan untuk mencegah runoff dan menyimpan air hujan di tempat dimana ia jatuh dari langit sebanyak mungkin. Perbedaan di antara dua macam teknologi ini tidak terlalu jelas,  terutama kalau daerah-tangkapan hujan (penghasil runoff ) sekalanya sangat kecil. Selain itu, teknologi penyimpanan lengas tanah dapat diaplikasikan di daerah lahan budidaya pertanian.

Memanen air hujan merupakan alternative sumber air yang sudah dipraktekkan selama berabad-abad di berbagai negara yang sering mengalami kekurangan air (Chao-Hsien Liaw & Yao-Lung Tsai, 2004). Air hujan yang dipanen dapat digunakan untuk multi tujuan seperti menyiram tanaman, mencuci, mandi dan bahkan dapat digunakan untuk memasak jika kualitas air tersebut memenuhi standar kesehatan (Sharpe, William E., & Swistock, Bryan, 2008; Worm, Janette & van Hattum, Tim, 2006).

Secara ekologis ada empat alasan mengapa memanen air hujan penting untuk konservasi air (Worm, Janette & Hattum, Tim van, 2006), yaitu:
1. Peningkatan kebutuhan terhadap air berakibat meningkatnya pengambilan air bawah tanah sehingga mengurangi cadangan air bawah tanah. Sistem pemanenan air hujan merupakan alternatif yang bermanfaat.
2. Keberadaan air dari sumber air seperti danau, sungai, dan air bawah tanah sangat fluktuatif. Mengumpulkan dan menyimpan air hujan dapat menjadi solusi saat kualitas air permukaan, seperti air danau atau sungai, menjadi rendah selama musim hujan, sebagaimana sering terjadi di Bangladesh.
3. Sumber air lain biasanya terletak jauh dari rumah atau komunitas pemakai. Mengumpulkan dan menyimpan air di dekat rumah akan meningkatkan akses terhadap persediaan air dan berdampak positif pada kesehatan serta memperkuat rasa kepemilikan pemakai terhadap sumber air alternatif ini.
4. Persediaan air dapat tercemar oleh kegiatan industri mupun limbah kegiatan manusia misalnya masuknya mineral seperti arsenic, garam atau fluoride. Sedangkan kualitas air hujan secara umum relatif baik.


·         TEKNOLOGI PANEN AIR HUJAN
-           Prinsip-prinsip Panen Air Hujan
Pemanenan-air-hujan dalam makna yang luas dapat didefinisikan sebagai kegiatan pengumpulan runoff untuk penggunaan yang produktif. Runoff dapat ditangkap dan dikulpulkan dari cucuran atap atau dari permukaan lahan, atau dari sungai-sungai musiman. Sistem pemanenan air yang memanen runoff dari atap-bangunan atau dari permukaan lahan termasuk dalam kategori “pemanenan air hujan”, sedangkan semua system yang mengumpulkan  runoff dari sungai-sungai musiman dikelompokkan dalam kategori “pemanenan air banjir”.

SIKLUS HIDROLOGI


Siklus hidrologi: Pentingnya hujan dalam siklus hidrologi (FAO. 1991)

Sebagian tertentu dari lahan, daerah tangkapan-air, dibiarkan tidak diolah. Air hujan yang jatuh di daerah-tangkapan ini dialirkan ke petakan lahan yang diolah dan ditanami. Runoff dapat juga dikumpulkan di area budidaya tanaman dengan menggunakan metode-metode konservasi lengas tanah (bangunan-bangunan yang terbuat dari tanah atau batu), yang memungkinkan air hujan ber-infiltrasi ke dalam tanah dan menjadi tersedia bagi akar tanaman.
Teknik-teknik pemanenan air hujan bersekala kecil dapat menangkap air hujan dan runoff dari daerah-tangkapan yang kecil, meliputi lereng-lereng yang pendek, panjang lereng kurang dari 30 m (daerah-tangkapan mikro). Pemanenan air hujan pada lereng lebih dari (30m – 200m), di luar lahan pertanian budidaya juga dapat dilakukan. Gambar 3 menyajikan contoh sistem daerah tangkapan sekala mikro.


·          Kondisi yang dipersyaratkan panen air hujan
-          Iklim
Pemanenan air hujan sangat sesuai untuk daerah-daerah semi-arid dengan rataan curah hujan tahunan (300-700 mm). Teknologi ini juga dipraktekkan di beberapa daerah arid dengan rataan curah hujan tahunan (100-300 mm). Di kebanyakan daerah tropis, periode utama curah hujan  terjadi selama periode panas ’summer’, pada saat alju evaporasi sangat tinggi. Di daerah tropis yang lebih kering, risiko kegagalan panen tanaman lebih besar. Biaya struktur pemanenan air hujan juga lebih tinggi karena haruis dibuat dengan sekala lebih besar.

·          Kemiringan Lereng
Pemanenan air hujan tidak direkomendasikan pada lahan dengan kemiringan lebih dari 5% karena distribusi runoff tidak merata, erosi tanah intensif dan biaya pembuatan bangunan penangkap air hujan juga mahal.



                                        Gambar 3. Daerah Tangkapan (catchment) Mikro (Critchley, 1991)


Tanah dan Pengelolaan Kesuburan Tanah
Tanah-tanah di zone budidaya harus cukup tebal sehingga mempunyai kapasitas simpanan air yang cukup besar, dan tanahnya subur. Tanah-tanah di daerah-tangkapan air  harus mempunyai laju infiltrasi yang rendah. Untuk kebanyakan sistem pemanenan air, kesuburan tanahnya harus diperbaiki, atau dipertahankan, supaya tetap produktif dan lestari. Peningkatan ketersediaan lengas tanah dan peningkatan produktivitas tanaman yang dihasilkan dari kegiatan penangkapan air hujan akan berdampak pada eksploitasi hara tanah yang lebih besar. Tanah-tanah berpasir tidak terlalu banyak memberikan nilai-tambah dari kegiatan pemanenan air hujan ini, kecuali kalau pada saat yang bersamaan juga ditingkatkan kesuburan tanahnya.

Tanaman
Salah satu kriteria utama untuk memilih teknologi panen air hujan adalah kesesuaiannya dengan jenis tanaman yang akan ditanam. Akan tetapi, jenis tanaman juga dapat disesuaikan dengan struktur bangunan pemanen air hujan. Beberapa karakteristik umum dalam kaitannya dengan kebutuhan air disajikan dalam bagian lain.

Perbedaan penting di antara tanaman tahunan (misalnya pohon) dengan tanaman semusim adalah bahwa pohon memerlukan konsentrasi air pada titik-titik tertentu, sedangkan tanaman semusim biasanya lebih diuntungkan kalau distribusi air lebih merata ke seluruh areal pertanaman. Distribusi air yang merata dapat dicapai dengan jalan meratakan tanah garapan. Rerumputan lebih toleran dengan kondisi distribusi air yang tidak merata dibandingkan dengan tanaman biji-bijian lainnya.

 Ada tiga komponen dasar yang harus ada dalam sistem pemanenan air hujan yaitu: 1) catchment, yaitu penangkap air hujan berupa permukaan atap; 2) delivery system, yaitu sistem penyaluran air hujan dari atap ke tempat penampungan melalui talang; dan 3) storage reservoir, yaitu tempat penyimpan air hujan berupa tong, bak atau kolam. Selain ketiga komponen dasar tersebut, dapat dilengkapi dengan komponen pendukung seperti pompa air untuk memompa air dari bak atau kolam penampung. (Worm, Janette & van Hattum, Tim 2006; Chao-Hsien Liaw & Yao-Lung Tsai 2004).

Kendala yang dihadapi dalam memanen air hujan antara lain frekuensi dan kuantitas hujan yang fluktuatif serta kualitas air hujan belum memenuhi pedoman standar air bersih WHO. Ada dua isu terkait kualitas air hujan, yaitu isu bacteriological water quality dan isu insect vector.

Pertama, isu bacteriological water quality. Air hujan dapat terkontaminasi oleh kotoran yang ada di catchment area (atap) sehingga disarankan untuk menjaga kebersihan atap. Penampung air hujan juga harus memiliki tutup agar terhindar dari kotoran. Bacteria tidak dapat hidup di air yang bersih. Lumut dapat hidup jika ada sinar matahari menembus tong penampung air, oleh sebab itu tong penampung air hujan sebaiknya dibiarkan gelap dan diletakkan di tempat teduh agar lumut tidak dapat tumbuh.

Kedua, isu insect vector. Serangga dapat berkembang biak dengan meletakkan telurnya dalam air. Oleh karena itu sebaiknya tong penampung air ditutup rapat untuk menghindari masuknya serangga seperti nyamuk. Ada beberapa metode perlakuan sederhana dalam pemakaian air hujan, antara lain: merebus air akan mematikan bakteri, menambahkan chlorine (35ml sodium hypochlorite per 1000 liter air) akan mendisinfeksi air, filtrasi pasir (biosand) akan menghilangkan organism berbahaya (Thomas, tanpa tahun). Worm & van Hattum (2006) menyebutkan sekarang dikembangkan teknik SODIS (Solar Water Disinfection) yaitu botol plastic yang sudah dicat hitam diisi air dan dijemur beberapa jam dengan tujuan untuk mematikan bacteria dan mikroorganisme dalam air hujan.

Di Taiwan secara tradisional praktek memanen air hujan banyak dilakukan di daerah yang memiliki persediaan sumber air permukaan atau air bawah tanah yang terbatas (Chao-Hsien Liaw & Yao-Lung Tsai 2004). Hasil pengamatan penulis menunjukkan meskipun memanen air hujan merupakan teknik yang sederhana, murah dan tidak membutuhkan keahlian atau pengetahuan khusus namun belum banyak dilakukan di Indonesia. Padahal praktek memanen air hujan penting sebagai alternative sumber air. Diperkirakan sebagian besar masyarakat belum menyadari pentingnya memanen air hujan sebagai salah satu upaya menghemat air akibat kurangnya pengetahuan dan informasi. Selain itu kemungkinan masyarakat juga merasa yakin tidak akan mengalami kekurangan air karena secara umum air melimpah di Indonesia. Untuk mengetahui lebih detail mengenai hal itu tentu perlu dilakukan penelitian secara lebih lanjut. Dari fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa diperlukan peran pemerintah agar praktek memanen air hujan dapat dilakukan secara luas. Pemerintah perlu melakukan komunikasi, informasi dan edukasi public agar masyarakat dapat tertarik perhatiannya, memahami, menyadari dan bersedia melakukannya di rumah masing-masing. Jika memanen air hujan dipraktekkan secara luas, maka masalah kekurangan air pada aras rumah tangga dapat dihindari. Berikut ini contoh desain sistem memanen air hujan yang sederhana yang dapat diterapkan masyarakat pada aras rumah tangga.


Berikut ini contoh praktek memanen air hujan di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Cambodia, Bangladesh, Sri Lanka, dsb.


Untuk memenuhi permintaan air yang persediaannya semakin terbatas terutama diperkotaan, diperlukan upaya konservasi air. Memanen air hujan merupakan salah satu metode konservasi air yang dapat dilakukan oleh masyarakat dalam rumah tangga dan juga mencegah terjadinya banjir di perkotaan. Upaya konservasi air memerlukan komitmen dari semua pihak terhadap isu keberlanjutan air. Apabila memanen air hujan dipraktekkan secara berkesinambungan akan dapat membantu memelihara keberlanjutan air dan keberlanjutan lingkungan sebagai pendukung perikehidupan generasi sekarang dan yang akan datang.


http://warasfarm.wordpress.com/2012/12/06/teknologi-panen-air-hujan-alternatif-sumber-air-dan-mencegah-banjir/

Sistem Drainase Perkotaan Berwawasan Lingkungan

Sistem Drainase Perkotaan Berwawasan Lingkungan




Drainase secara sederhana merupakan cara untuk mengalirkan air menuju ke suatu tempat pembuangan akhir, yang berupa sungai dan laut. Pengertian drainase perkotaan tidak terbatas pada masalah teknik pembuangan air berlebih, berupa dimensi saluran untuk mengalirkan air, namun juga berkaitan dengan banyak aspek yang berada di kawasan perkotaan.
Akibatnya, distribusi air yang timpang antara musim penghujan dan musim kemarau, dimana debit banjir meningkat pada mu-sim penghujan serta ancaman ke-keringan pada musim kemarau.
Untuk melindungi sumber daya air serta pemanfaatannya terbit Undang-Undang Pengelolaan Sumber Daya Air Nomor 7 Tahun 2004, yang secara umum terdiri dari tiga aspek, yaitu:
-        - Konservasi /perlindungan sumber daya air.
-        - Pendayagunaan (pengembangan, pemanfaatan) sumber daya air.
-        - Pengendalian daya rusak air.

Pengembangan sumber daya air ditujukan untuk peningkatan kemanfaatan fungsi sumber daya air, guna memenuhi kebutuhan air baku untuk rumah tangga, pertanian, industri, dan untuk berbagai keperluan.
Beberapa teknologi pengenda-lian air permukaan sekaligus pe-nanganan drainase antara lain waduk lapangan dan sumur resa-pan. Dimana waduk lapangan di-kaitkan dengan kepentingan ke-nyamanan kota, sarana rekreasi kota, ataupun budidaya perika-nan. Sementara sumur resapan merupakan teknologi yang dapat dikembangkan oleh masyarakat, yang dapat menyerap air berlebih.
Sumur resapan untuk menam-pung air hujan bertujuan untuk menahan selama mungkin air hu-jan di bawah permukaan tanah, sehingga tidak menimbulkan ma-salah di permukaan. Tujuan dari sistem ini adalah untuk melesta-rikan dan memperbaiki kualitas lingkungan, membantu menang-gulangi kekurangan air bersih dan membudayakan kesadaran ling-kungan.
Manfaat yang bisa diperoleh antara lain dapat menambah potensi air tanah, mengurangi meluasnya intrusi air laut, me-ngurangi genangan banjir serta melestarikan dan menyelamat-kan sumber daya air jangka pan-jang.
Konsep dasar sumur resapan adalah suatu sistem drainase di mana air hujan yang jatuh di atap atau lahan kedap air ditampung pada suatu sistem resapan air. Ber-beda dengan cara konvensional di mana air hujan dibuang atau dialirkan ke saluran menuju su-ngai atau laut, cara ini mengalir-kan air hujan ke sumur resapan yang dibuat di halaman rumah. Sumur resapan ini merupakan su-mur kosong dengan maksud ka-pasitas tampungannya cukup be-sar sebelum air meresap ke dalam tanah.
Dengan adanya tampungan, maka air hujan mempunyai cukup waktu untuk meresap ke dalam tanah. Pada rumah tinggal yang memiliki ukuran luas halaman yang terbatas, dapat dibuat sumur resapan bersama (kolektif), di mana sebuah sumur resapan ko-lektif dapat melayani beberapa ru-mah tinggal atau kawasan yang lebih luas.
Seperti pada sumur resapan in-dividual, sumur resapan kolektif juga harus memperhatikan jarak dan tata letak yang tepat serta kriteria lainnya agar dapat ber- fungsi dengan baik.
Pada saat ini, sudah dikembang-kan pula teknologi sederhana un-tuk konservasi lahan dan air ber-sih air berupa lubang mini penye-rap air yang diberi nama lubang biopori. Konsep ini lebih sederha-na dari sumur resapan, karena tidak membutuhkan lahan yang luas serta biaya yang lebih murah.
Manfaat yang bisa diperoleh dari lubang biopori ini antara lain konservasi air bersih; membantu pengolahan sampah domestik, karena setelah dibuat lubang-lubang dengan garis tengah 10 cm dan kedalaman 100 cm, lubang-lubang itu kemudian diisi dengan sampah berupa daun-daun ron-tok dan sampah organik lainnya supaya daya serap air menjadi lebih baik; menjaga kesuburan tanah; serta mengurangi banjir.
Apapun teknologi yang ada dan berkembang, hendaknya terus di-upayakan untuk menjaga ling-kungan agar supaya tetap sehat dan aman dan sumber daya yang ada didalamnya dapat dimanfaat-kan oleh kita semua dengan se-baik-baiknya dan berkelan-jutan.


http://www.hariankomentar.com/arsip/arsip_2007/jul_05/lkOpin001.html

Plumbing Untuk Air Bersih dan Untuk Air Limbah dalam Bangunan

Plumbing Untuk Air Bersih dan Untuk Air Limbah dalam Bangunan

Sistem pemipaan (plumbing system) sebuah bangunan adalah jaringan kompleks dari pipa air, pipa saluran pembuangan, pipa ventilasi, dan banyak lagi. Karena sistem pemipaan sangat rumit dan merupakan salah satu sistem yang sangat mahal yang terpasang dalam sebuah gedung, maka sangat penting memahami bagaimana sistem pemipaan bekerja saatmerencanakan pembangunan proyek baru atau renovasi gedung skala besar.

Hal ini cukup sering memusingkan penghuni bila ada masalah dengan sistem pemipaan yang ada di sebuah rumah atau bangunan. Mungkin ada keran bocor atau kerusakan pipa dimana kontraktor pemipaan dapat memperbaiki hanya dalam beberapa menit. Pemilik bangunan rata-rata menghabiskan sekitar 15% investasi dari bangunan / rumahnya untuk pekerjaansistem pemipaan. Itu bukan jumlah yang besar ketika seseorang berpikir tentang bahaya kesehatan mungkin harus dihadapiakibat sistem pemipaan yang buruk. Dibutuhkan biaya untuk menjaga sistem pemipaan rumah / gedung dalam kondisi kinerja yang baik.

Biasanya sistem pemipaan di gedung meliputi dua tujuan dasar. Tujuan pertama adalah untuk menyediakan air bersih untuk semua jenis kebutuhan sehari-hari; wastafel, mesin cuci, mesin cuci piring, toilet, kamar mandi dan sebagainya. Tujuan kedua adalah untuk menghapus air tercemar (polluted water) secara efisien setelah mengumpulkannya dari berbagai saluran pembuangan tanpa mencampurnya dengan air bersih. Agar sistem pemipaan dapat bekerja secara efisien sangat diperlukan pemeriksaan tekanan air dan gravitasi secara teliti dan berkala. Komponen utama dari sistem pemipaan adalah katup penutup utama (main water shut off valve) , meteran air, fixture stop valves, keran drainase dan pemanas air.
Dua hal yang harus dipahami tentang dasar-dasar dari sistem pemipaan sebagai berikut:
1. Merancang suatu sistem yang bisa bekerja dengan baik dan lolos uji peraturan standard pemipaan. Sebuah sistem yang dirancang dengan baik akan mengalirkan air ke berbagai kran dan semua peralatan yang memakai air secara efisien danmembawa keluar air limbah tanpa sumbatan / mampet.
2. Berpikir secara efisien untuk membuat perencanaan yang akurat dan memperhatikan detail tentang semua hal pentingsebagai berikut:
• menentukan diameter dalam pipa.
• merekomendasikan dimana katup penutup (shut off valves) akan ditempatkan,
• material apakah yang digunakan untuk pipa,
• apa tindakan pencegahan keselamatan yang harus diikuti,
• jenis pipa harus digunakan dan di mana akan digunakan,
• bagaimana pipa harus ditempatkan,
• kemiringan pipa dan sebagainya.
sehingga dapat mengurangi biaya keseluruhan secara signifikan dengan menempatkan lokasi kamar mandi, dapur, atauruang cuci berdekatan satu sama lain sehingga semuanya dapat berbagi pakai komponen dari sistem pemipaan terdekat. Ini akan menghemat biaya.

  • INSTALASI PLUMBING SISTEM PENYEDIAAN AIR BERSIH & AIR KOTOR
  1. INSTALASI PLUMBING SISTEM PENYEDIAAN AIR BERSIH
URAIAN SISTEM
Sistem penyediaan dan distribusi air bersih. • Sumber air bersih bisa didapat dari PDAM dimasukan kedalam bak air bersih, sedangkan sumber air yang berasal dari Deep Well dimasukan kedalam raw water tank. • Air yang berada di raw water tank ditreatment di instalasi Water Treatment Plant dan selanjutnya dialirkan kebak air bersih / clear water tank. • Air yang berada didalam bak air bersih selanjutnya dialirkan ke bak air atas dengan Pompa Transfer. • Distribusi air bersih pada dua lantai teratas menggunakan packaged booster pump, sedangkan untuk lantai-lantai dibawahnya dialirkan secara gravitasi. • Pada umumnya persediaan air bersih diperhitungkan untuk cadangan 1 (satu) hari pemakaian air.

 PERALATAN UTAMA & FUNGSI
 1. Pompa Transfer, berfungsi untuk menaikan air bersih dari Ground Water Tank (GWT) ke Roof tank melewati  pipa transfer. Beberapa jenis pompa transfer yang sering dipakai, antara lain :
 a. End suction
 b. Horizontal split case
 c. Multi stage
 d. Centrifugal

2. Pressure Tank, berfungsi untuk meringankan kerja pompa dari keadaan start-stop yang terlalu sering. Beberapa jenis pressure tank yang sering dipakai, antara lain :
 a. Pressure tank dengan diafragma
 b. Pressure tank tanpa diafragma

 3. Peralatan pengaturan dan ukur, meliputi :
 a. Check valve, berfungsi untuk menahan aliran balik air didalam instalasi pipa.
 b. Gate Valve, berfungsi untuk mengatur buka / tutup aliran air didalam pipa.
 c. Ball valve, Berfungsi untuk mengatur jumlah aliran air didalam pipa.
 d. Butterfly Valve, berfungsi untuk mengatur buka / tutup aliran air didalam pipa.
 e. Floating valve, berfungsi untuk membuka & menutup aliran air ke tanki.
 f. Foot Valve, berfungsi untuk menahan air balik.
 g. Strainer, berfungsi untuk menyaring.
 h. Flexible joint, berfungsi untuk menahan getaran/gerakan.
 i. Pressure gauge, berfugsi untuk pembacaan tekanan.
 j. Pressure switch, berfungsi sebagai alat kontak hubung/putus akibat tekanan.
 k. Flow switch, berfungsi sebagai alat kontak hubung/putus akibat aliran.

4. Water meter, Berfungsi untuk mengukur debit air. Instalasi Air Bersih Tradisional Untuk daerah tropis seperti Indonesia, sebuah keluarga akan membutuhan puluhan liter air bersih per hari untuk minum, membasuh mulut, mencuci, dan memasak, dan kebutuhan yang lain. Dalam sebulan akan dibutuhkan beriburibu liter air bersih untuk keperluan lain seperti mandi, mencuci pakaian dan perabotan rumah tangga. Untuk daerah pedesaan yang kering di musim kemarau pada waktu hujan hanya sedikit dan persediaan air dalam tanah menurun, akan sulit sekali untuk mendapatkan air yang bersih. Pada musin kemarau sumur menjadi kering, aliran sungai besar berubah menjadi kecil dengan air yang keruh, mengakibatkan timbulnya penyakit yang menuntut banyak korban. Di samping itu pada musim kemarau banyak waktu dan tenaga terbuang untuk mengambil air bersih, karena sumber air biasanya terletak jauh dari tempat tinggal. Masalah kebutuhan air bersih dapat ditanggulangi dengan memanfaatkan sumber air dan air hujan. Menampung air hujan dari atap rumah adalah cara lain untuk memperoleh air. Cara yang cukup mudah ini kebanyakan masih diabaikan karena atap rumah yang terbuat dari daun rumbia atau alang-alang tidak memungkinkannya. Namun pada rumah yang beratap genteng atau seng bergelombang, hal ini dengan mudah dapat dilakukan dengan memasang talang air sepanjang sisi atap dan mengalirkan air hujan itu ke dalam tempat penyimpanan. Ada 7 cara penyimpanan air yang biasa digunakan atau dipakai di daerah pedesaan di Indonesia. Ke-7 cara tersebut yaitu :
 1) Gentong penampungan air cara cetakan (Kapasitas 250 liter)
 2) Drum air cara kerangka kawat (Kapasitas 300 liter)
 3) Bak penampungan air bambu semen (Kapasitas 2.500 liter)
 4) Bak penampungan air bambu semen (Kapasitas 10.000 liter)
 5) Instalasi air bersih pipa bambu metode tradisional
 6) Instalasi air bersih pipa bambu sistem pengaliran tertutup
 7) Bak penampungan sumber air/mata air Umumnya penyimpanan air yang digunakan adalah bak penampung yang dibuat dari drum, genteng dan bambu semen.
 Bahan ini digunakan karena : relatif murah, tahan lama, konstruksi kuat, mudah dibuat, bahan baku mudah didapat dan air yang ditampung tidak mudah tercemar.

 Untuk Pembuatannya Bahan dan peralatannya :
 1) Bambu
 2) Pahat
 3) Palu

 Cara Pembuatannya :
 1) Hilangkan sekat pada ruas bambu, dengan pemotongan bentuk huruf V
 2) Kemudian sekat dihilangkan dengan pahat
 3) Penyampungan pipa dilakukan dengan menumpangkan ujung pipa bagian hilir.
 4) Ujung-ujung tersebut dipotong miring agar mudah menumpangkannya Pada gambar dibawah ini.

 Penggunaannya :
 Cara ini digunakan untuk penyambungan yang tidak seberapa jauh jaraknya yaitu jarak antara sumber air ke pemukiman.




Sumber : Buku Panduan Air dan Sanitasi, Pusat Informasi Wanita dalam Pembangunan PDII-LIPI bekerjasama dengan Swiss Development Cooperation, Jakarta, 1991.

  1. INSTALASI PLUMBING SISTEM PENYEDIAAN AIR KOTOR
Klasifikasi berdasarkan jenis air buangan:
• Sistem pembuangan air kotor.
Adalah system pembuangan untuk air buangan yang berasal dari kloset, urinal, bidet, dan air buangan yang mengandung kotoran manusia dari alat plambing lainnya ( black water ).
• Sistem pembuangan air bekas.
Adalah system pembuangan untuk air buangan yang berasal dari bathtub, wastafel, sink dapur dan lainnya ( grey water ). Untuk suatu daerah yang tidak tersedia riol umum yang dapat menampung air bekas, maka dapat di gabungkan ke instalasi air kotor terlebih dahulu
• Sistem pembuangan air hujan.
Sistem pembuangan air hujan harus merupakan system terpisah dari system pembuangan air kotor maupun air bekas, karena bila di campurkan sering terjadi penyumbatan pada saluran dan air hujan akan mengalir balik masuk ke alat plambing yang terendah.
• Sistem air buangan khusus.
Sistem pembuangan air yang mengandung gas, racun, lemak, limbah pabrik, limbah rumah sakit, pemotongan hewan dan lainnya yang bersifat khusus.

Klasifikasi berdasarkan cara pengaliran :
• Sistem gravitasi.
Air buangan mengalir dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah secara gravitasi ke saluran umum yang letaknya lebih rendah
• Sistem bertekanan.
Sistem yang menggunakan alat ( pompa ) karena saluran umum letaknya lebih tinggi dari letak alat plambing, sehingga air buangan di kumpulkan terlebih dahulu dalam suatu bakpenampungan, kemudian di pompakan keluar ke roil umum. Sistem ini mahal, tetapi biasa di gunakan pada bangunan yang mempunyai alat – alat plambing di basement pada bangunan tinggi / bertingkat banyak.

SKEMA UMUM SISTEM PEMBUANGAN GRAFITASI



EFEK SIFON DAN PERANAN PIPA VEN PADA SISTEM PEMBUANGAN


BAGIAN – BAGIAN SISTEM PEMBUANGAN
• Alat – alat plambing yang di gunakan untuk pembuangan seperti bathtub,wastafel, bak – bak cuci piring, cuci pakaian, kloset, urinal, bidet, dsb.
• Pipa – pipa pembuangan.
• Pipa ven.
• Perangkap dan penangkap ( interceptor ).
• Bak penampung dan tangki septic.
• Pompa pembuangan.
Pipa – pipa pembuangan
• Ukuran pipa ini harus sama atau lebih besar dengan ukuran lubang keluar perangkap alat plambing dan untuk mencegah efek sifon pada air yang ada dalam perangkap, jarak tegak dari ambang puncak perangkap sampai pipa mendatar di bawahnya tidak lebih dari 60 cm


Syarat – syarat perangkap
• Kedalaman air penyekat berkisar antara 50 – 100 mm.
• Konstruksi perangkap harus sedemikian rupa sehingga tak terjadi pengendapan atau tertahannya kotoran dalam perangkap.
• Konstruksi perangkap harus sederhana sehingga mudah di pe rbaiki bila ada kerusakan dan dari bahan tak berkarat.
• Tidak ada bagian bergerak atau bersudut dalam perangkap yang dapat menghambat aliran air.
Jenis perangkap
Jenis perangkap dapat di kelompokkan menjadi :
a. Perangkap yang di pasang pada alat plambing dan pipa pembuangan.
b. Perangkap yang menjadi satu dengan alat plambing.
Penangkap (interceptor)
• Persyaratan penangkap
– Penangkap yang sesuai harus dipasang sedekat mungkin dengan alat plambing yang di layaninya, dengan maksud agar pipa pembuangan yang mungkin mengalami gangguan sependek mungkin.
– Konstruksinya harus mudah dibersihkan, dilengkapi dengan tutup yang mudah dibuka dan letak dari penangkap dalam ruang sedemikian rupa sehingga sampah dari penangkap mudah dibuang keluar ruang.
– Konstruksi penangkap harus mampu secara efektif memisahkanmin
yak, lemak dan sebagainya dari air buangan.Konstruksi penangkap umumnya juga merupakan ‘perangkap’, karena itu bila telah dipasang penangkap dilarang memasang perangkap, sebab dapat terjadi ‘perangkap ganda’.

Tangki septic dan rembesan

• Tangki septic sebenarnya serupa saja dengan bak penampungan air kotor, tetapi lebih ditujukan penggunannya untuk menampung air kotor buangan dari bangunan ditempat yang tidak terjangkau oleh riol umum/kota. Prinsip kerja dari tangki septik adalah mengolah dan memisahkan antara air dengan kotoran dengan cara pengendapan. Pengolahan dilakukan oleh bakteri anaerobic yang merubah kotoran baku menjadi Lumpur. Air hasil pemisahan (70% lebih bersih) dialirkan keluar secara gravitasi dan diresapkan ketanah, sedangkan hasil endapan (Lumpur) harus dibuang secara berkala dengan bantuan layanan mobil tangki air kotor pemerintah setempat. Dengan demikian tangki septic biasanya terletak diluar bangungan (mudah dicapai mobil tangki) dan tidak ada peralatan pompa yang dipasangkan.


Sistem Pembuangan dengan Tangki Septic



Komponen Sistem Pembuangan






Syarat Jarak Komponen Sistem Tangki Septic


http://rekayasalingkungan-dodie-efriyandi.blogspot.com/2013/06/instalasi-plumbing-sistem-penyediaan.html

Pendekatan Ekosistem Dalam Pengelolaan Lingkungan

Pendekatan Ekosistem

CBD (Convention on Biological Diversity) menegaskan bahwa upaya pelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati harus dilakukan secara holistik, memperhitungkan tiga level keanekaragaman hayati dan sepenuhnya mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi dan budaya. Maka ecocystem approach menjadi kerangka acuan utama upaya pelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati [1].
Ekosistem sendiri memiliki definisi sebagai interaksi dinamis komponen biotik dan abiotik dalam suatu lingkungan yang menghasilkan aliran energi dan daur hara [2].
Pendekatan ekosistem dapat dilakukan pada skala ruang dan wilayah apapun, menempatkan manusia sebagai bagian integral dari ekosistem, memerlukan pendekatan pengelolaan adaptif [3]. Pendekatan ekosistem tidak meniadakan pendekatan pelestarian dan pengelolaan lain seperti biosphere reserves, protected area, single-species conservation, melainkan mengintegrasikan seluruh pendekatan tersebut dalam menghadapi kompleksnya situasi dan permasalahan yang ditemui.

Panduan pelaksanaan pengelolaan berbasis ekosistem adalah sebagai berikut:
-          Fokus pada hubungan dan proses fungsional dalam ekosistem
Komponen-komponen dalam ekosistem mengendalikan pola penyimpanan dan pelepasan energi, air, dan nutrisi serta ikut membangun daya tahan ekosistem terhadap gangguan. Pengetahuan atas fungsi dan struktur ekosistem sangat dibutuhkan terutama untuk memahami daya tahan ekosistem, dampak kerusakan lingkungan dan habitat, penyebab utama kerusakan, serta faktor-faktor penentu pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
-          Meningkatkan benefit-sharing
Pendekatan ekosistem berusaha mempertahankan dan memperbaiki nilai manfaat dari fungsi ekosistem yang ada, yang pada gilirannya akan membuat para pihak terkait mampu bertanggung jawab secara mandiri dalam pelestarian dan pemanfaatan ekosistem tersebut.
Pendekatan ini bisa dilakukan antara lain dengan cara peningkatan kapasitas komunitas lokal dalam pengelolaan ekosistem dan penilaian atas barang dan jasa yang dihasilkan ekosistem secara adil dan memadai.
-          Melakukan praktik adaptive management
Proses dan fungsi ekosistem sangat kompleks dan beragam. Perlu dipahami, akibat tingginya tingkat ketidakpastian hubungan dengan konstruksi sosial yang ada, pengelolaan ekosistem harus merupakan proses pembelajaran yang terus-menerus terjadi. Pembelajaran hanya bisa dilakukan bila terdapat kemungkinan adaptasi. Implementasi program harus dirancang memiliki cukup daya kelenturan dan penyesuaian.
-          Pengelolaan kegiatan dilakukan pada skala isu yang tepat
Pendekatan ekosistem harus dilakukan dengan pola desentralisasi sampai ke level terbawah. Pengelolaan kegiatan tak jarang harus dilakukan pada tingkatan komunitas lokal. Efektivitas desentralisasi membutuhkan pendampingan dan pemberdayaan, juga dukungan kerangka kebijakan dan aturan. Pada keterlibatan hak-hak publik, pengelolaan dalam skala yang lebih besar dibutuhkan untuk dapat mengakomodasi seluruh kepentingan para pihak.
-          Menjamin keterlibatan, kerja sama, dan koordinasi antarsektor
Pendekatan ekosistem tidak dapat lepas dari strategi dan rencana aksi nasional, sehingga tetap harus memperhitungkan keterlibatan, kerjasama, dan koordinasi antarsektor dalam mengelola sumber daya alam, antara lain pertanian, perikanan, kehutanan, dan berbagai sektor terkait lainnya.


http://lingkarlsm.com/2011/12/pendekatan-ekosistem/



Membangun Pengelolaan Perikanan dengan Pendekatan Ekosistem

Kabupaten Flores Timur merupakan salah satu icon perikanan di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan penangkapan perikanan pelagis dan didukung oleh adanya industri perikanan berskala ekspor. Aktivitas penangkapan tersebut didominasi oleh alat tangkap pole and line, pancing ulur dan pancing tonda yang mentargetkan komoditi Tuna dan Cakalang dalam memenuhi permintaan perusahaan ikan.

Berdasarkan Data BPS, nilai CPUE pada perikanan pelagis dan demersal menunjukkan tren penurunan dalam 4 tahun terakhir. Aktivitas perikanan di kabupaten ini mulai tidak berjalan efektif, jumlah trip yang terganggu dengan sulitnya mencari umpan hidup berupa ikan layang (Tembang), semakin jauh lokasi penangkapan hingga berdampak pada konflik perikanan dengan wilayah penangkapan kabupaten tetangga, dan mengakibatkan semakin maraknya aktivitas penangkapan, seperti bom dan potassium yang terus merusak habitat laut. Survey terbaru mengenai kesehatan terumbu karang di Kabupaten Flores Timur secara umum menunjukkan bahwa terumbu karang di kabupaten ini berada dalam kondisi buruk-sedang (< 50%), dimana hal ini terjadi karena kurang konsistenya kelembagaan dalam mengatur pembangunan diwilayah pesisir dan laut.

Pengelolaan perikanan yang ada saat ini masih berorientasi dalam mendukung peningkatan perekonomian kabupaten saja, permintaan pasar melalui industri perikanan terus mengeruk sumberdaya ikan yang ada tanpa didukung oleh adanya kebijakan yang mendukung perikanan berkelanjutan. Memperhitungkan pentingnya habitat dan ekosistem laut sebagai wilayah strategis penyedia lumbung ikan yang perlu dijaga mendorong WWF-Indonesia memperkenalkan pengelolaan perikanan berbasis ekosistem ditingkat kabupaten. Diawali dengan pelatihan EAFM dibulan Januari 2012 yang diselenggarakan oleh EAFM yang diselenggarakan oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP), PKSPL dan WWF-Indonesia, Pengelolaan dengan pendekatan ekosistem mulai dipahami dan dirasakan kebutuhannya.

Pasca kegiatan pelatihan EAFM tersebut, DKP Kabupaten Flores Timur, UNKAW dan WWF-Indonesia Lesser Sunda Solor Alor Project bersama memulai pengumpulan data dalam penilaian performa instrumen EAFM di kabupaten Flores Timur, bersamaan dengan 4 lokasi pilot test lainnya. Hasil analisa tersebut kemudian dipresentasikan dalam workshop yang diselenggarakan di Larantuka pada 3 Juli 2012 dihadiri oleh 46 peserta yang terdiri dari perwakilan Kementrian Kelautan dan Perikanan, SKPD Kabupaten Flores Timur, DKP Provinsi Nusa Tenggara Timur, Komandan Ditrict 1624, Polairud, Konsorsium Akademis UniCornSuFish, Perwakilan Masyarakat nelayan, HNSI dan  pihak Industri Perikanan di Kabupaten Flores Timur. Kegiatan ini dilaksanakan dengan tujuan untuk memberikan pemahaman Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem yang terintegrasi antar Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) dan stakeholder perikanan.

Pengarahan dari  Bapak Hary Cristijanto A.Pi, MSc sebagai narasumber dari Kementrian Kelautan dan Perikanan, Donny M Bessie, SPi dari Universitas Arta Wacana dan Dwi Ariyogagautama dari WWF-Indonesia, berusaha memberikan gambaran besar pentingnya pengelolaan perikanan berbasis ekosistem di daerah dengan aktivitas perikanan yang tinggi seperti di kabupaten Flores Timur ini. Dalam pertemuan ini juga dibahas korelasi antara agenda pembentukan Kawasan konservasi Perairan Daerah (KKPD) di Kabupaten Flores Timur dalam mendukung pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. Sebagai langkah membangun perikanan dan kelautan yang berkelanjutan melalui pendekatan ekosistem, peserta merekomendasikan 3 hal, yaitu :

1. Pengembangan dan Internalisasi EAFM
EAFM disepakati untuk diadopsi sebagai data dasar dalam mendukung pengembangan Rencana Induk (Master Plan) Kelautan dan Pesisir di Kabupaten Flores Timur.

2. Penguatan Tim Multipihak Dalam  Pengembangan dan Implementasi EAFM
Perlunya mendorong pembuatan revisi SK Bupati untuk Tim Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) dengan instrumen EAFM sebagai program kerja Tim dalam mendukung terbentuknya Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem

3. Manajemen dan Kolaborasi Implementasi EAFM
Proses internalisasi EAFM akan dilakukan secara kolaboratif antara SKPD yang tergabung dalam Tim KKPD Kabupaten Flores Timur, dengan melibatkan akademisi dan industri perikanan.

Hasil keputusan ini sesuai dengan 3 amanat kegiatan yang diharapkan oleh Bupati Flores Timur yaitu (i) kebijakan nasional dan Kebijakan daerah dalam mendukung pembentukan pengelolaan perikanan berbasis ekosistem melalui EAFM sebagai dasar pengelolaan perikanan di Kabupaten Flores Timur, (ii) sinkronisasi program antar SKPD dalam mendukung perikanan yang berkelanjutan dan (iii) perlunya Satuan Kerja dalam menjalankan Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem di Kabupaten Flores Timur yaitu melalui tim KKPD.

Tindak lanjut dari rekomendasi tersebut dimulai dengan pertemuan penguatan tim Pengkajian dan Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Daerah (PPKKPD) Kabupaten Flores Timur dengan membuat pokja khusus perikanan berkelanjutan dengan aktivitas dalam melakukan penilaian EAFM dan juga sebagai tim diskusi dalam pengelolaan perikanan yang kolaboratif diantara SKPD, akademisi, dan LSM lokal. Saat ini, SK Bupati sedang dibuat untuk memperkuat kerja tim.

Dalam mempersiapkan peningkatan kapasitas penilaian EAFM ini, tim PPKKPD kabupaten Flores Timur bersama WWF-Indonesia menyelenggarakan kegiatan Pelatihan Pengelolaan Perikanan Berbasis yang dilaksanakan di Larantuka selama 3 hari yaitu  2-4 Oktober 2012. Kegiatan ini didukung oleh Dr. Ir. Sugeng Hari W, MSi dari PKSPL-IPB sebagai pemateri utama yang membantu memberikan pemahaman tim dalam melakukan pengambilan data indikator EAFM. Melalui kegiatan ini pula peserta mempraktekkan pembuatan analisa penilaian performa pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem berdasarkan data kajian sebelumnya. Tugas selanjutnya bagi tim PPKKPD adalah mendorongkan penilaian dengan indikator EAFM masuk dalam agenda Pemerintah daerah ditahun berikutnya sebagai bahan guna mulai membenahi pengelolaan perikanan di kabupaten Flores Timur ini (YG).

http://eafm-indonesia.net/tentang/EAFM/membangun-pengelolaan-perikanan-dengan-pendekatan-ekosistem