JEJAK EKOLOGIS
* Pengertian Jejak Ekologis
Setiap makhluk, manusia, binatang
atau tumbuhan, merindukan kehidupan. Akan tetapi, tidak ada makhluk yang mampu
memuaskan nafsu kehidupannya tanpa membatasi kualitas kehidupan makhluk yang
lain. Hal ini berlaku terutama bagi manusia dengan nafsu atas kesejahteraan
sosial, kenikmatan, dan keuntungan material yang tidak dapat terpenuhi. Dalam
hal ini diadakan dua percobaan untuk menyeimbangkan ketidakseimbangan tersebut,
yaitu kode etik lingkungan dan jejak ekologis (ecological footprint).
Istilah jejak kaki atau footprint
telah dikenal secara umum dalam pengelolaan sumber daya alam di dunia
internasional sebagai metode perhitungan kuantitatif yang menunjukkan
pemanfaatan sumber daya alam oleh manusia dalam kehidupannya sehari-hari. Saat
ini telah dikenal tiga jenis footprint dalam kehidupan sehari-hari, yaitu 1)
ecological footprint, 2) carbon footprint dan 3) water footprint. Satuan dan
sumber daya yang dianalisis secara spesifik oleh masing-masing jenis footprint
tersebut berbeda-beda.
Ecological Footprint (Jejak
Ekologis) adalah alat bantu untuk dapat kita pergunakan dalam mengukur
penggunaan sumber daya dan kemampuan menampung limbah dari populasi manusia
dihubungkan dengan kemampuan lahan, biasanya dinyatakan dalam hektar. Jejak
ekologi pada asasnya ialah kemampuan sumber tanah dan air menyediakan sumber
yang diperlukan oleh manusia (makanan, minuman, tempat tinggal dan lain-lain)
serta kemampuan untuk bumi untuk menyerap semua bahan buangan manusia sesudah
mereka menggunakannya. Dengan kata lain sumber yang digunakan oleh manusia
dibandingkan dengan kemampuan bumi untuk menghasilkan semua bahan yang sudah
digunakan. Konsep ini pada awalnya dibangunkan oleh Profesor Willian Rees dari
Universiti British Colombia pada tahun 1992. Sebuah pendekatan yang baru-baru
ini populer dengan Ecological Footprint menjadi alat ukur yang mengkaji tingkat
konsumsi manusia dan dampaknya terhadap lingkungan. Konsep "Jejak
Ekologis" (Ecological Footprint) diperkenalkan pada tahun 1990-an oleh
William Rees dan Mathis Wackernagel
(Wackernagel and Rees, 1996).
Ecological footprint difokuskan
untuk menghitung penggunaan lahan bioproduktif yang digunakan untuk menyokong
populasi dunia dan dinyatakan dalam satuan hektar. Perhitungan carbon footprint
dititikberatkan pada penghitungan penggunaan energi yang dinyatakan dalam
volume emisi karbondioksida (CO2) menggunakan satuan ton. Water footprint
adalah jenis footprint yang terakhir. Footprint ini menghitung penggunaan air
untuk menyokong kehidupan manusia yang dinyatakan dalam satuan volume air (M3).
Konsep ecological footprint (EF),
atau jejak kaki ekologis, pertama kali diperkenalkan oleh William Rees dan
Martin Wackernagel pada tahun 1990-an. Konsep ini pada dasarnya dikembangkan
sebagai usaha pencarian indikator untuk pembangunan berkelanjutan dan khususnya
diharapkan dapat menjadi metode untuk mengukur secara kuantitatif mengenai
hubungan perlakuan manusia terhadap bumi dengan daya dukung yang dimiliki oleh
bumi itu sendiri. Konsep ini menegaskan bahwa hampir semua tindakan dan
perilaku hidup manusia, misalnya perilaku konsumsi dan transportasi, akan
membawa dampak ekologis atau dampak bagi lingkungan. Pendekatan ecological
footprint dapat digunakan untuk mendidik masyarakat mengenai penggunaan sumber
daya alam yang berlebihan dan kemampuan daya dukung bumi untuk menyokong
keberlanjutan hidup mereka. Pendekatan ini dapat digunakan sebagai indikator
keberlanjutan. Pendekatan ini juga memberikan penjelasan mengenai dampak
perilaku manusia terhadap lingkungan dan dapat menghubungkannya dengan daya
dukung bumi.
Jenis analisis footprint yang
kedua adalah Analisis carbon footprint (CF). Carbon footprint adalah indikator
mengenai dampak aktivitas manusia terhadap iklim global yang dinyatakan dalam jumlah
gas rumah kaca (GRK) yang diproduksi. Carbon footprint secara konseptual
menggambarkan kontribusi individu atau negara terhadap pemanasan global. Carbon
footprint dapat menunjukkan total emisi karbondioksida (CO2) dan gas rumah kaca
lainnya yang diemisikan pada seluruh proses untuk menghasilkan produk atau
jasa.
Jenis analisis footprint yang
terakhir adalah analisis water foootprint (WF). Water footprint dikembangkan
oleh Hoekstra pada tahun 2002. Water footprint dapat merepresentasikan jumlah
volume air tawar yang dibutuhkan untuk menjaga keberlanjutan suatu populasi,
seperti yang diungkapkan oleh Madrid et al “The water footprint represents the
freshwater volume required to sustain a population” (Madrid et al., not dated).
Hoekstra dan Chapagain (2004) dalam laporan hasil penelitiannya mendefinisikan
water footprint individu, bisnis atau negara adalah total volume air tawar yang
digunakan untuk memproduksi makanan dan jasa yang dikonsumsi oleh individu,
bisnis atau negara. Nilai water footprint umumnya dinyatakan dalam satuan
volume air yang digunakan setiap tahunnya. Saat ini, water footprint telah
berkembang menjadi alat analisis yang digunakan untuk mengarahkan perumusan
kebijakan kearah isu-isu mengenai keamanan air dan penggunaan air yang berkelanjutan
di negara maju.
* Indikator Jejak Ekologis

Jejak ekologis mengukur kebutuhan
bahan baku alam yang digunakan oleh setiap bangsa dan setiap orang. Jejak
ekologis menghitung luasnya tanah subur, air tawar, lautan, dan banyaknya
energi yang tidak terbarukan dan yang dibutuhkan manusia untuk memenuhi
kebutuhan atas pangan, sandang, papan, serta mobilitas.
Jejak ekologis dari semua
penduduk bumi pada saat ini mencapai 2,2 hektar, sedangkan luas lahan subur di
dunia mencapai 1,8 hektar per orang. Hal ini berarti bahwa cara kehidupan masa
kini telah melebihi kemampuan bumi dan mengancam keberlanjutan kehidupan pada
planet ini. Untuk mengukur jejak
ekologis dibutuhkan indikator-indikator seperti :
1. Berapa luas lahan pertanian yang dibutuhkan
untuk menumbuhkan semua makanan seperti beras, sayuran, rempah-rempah,
buah-buahan, tebu, teh, kopi, dan sebagainya;
2. Berapa luas lahan pertanian
yang dibutuhkan untuk peternakan seperti rumput, jagung, kacang kedelai untuk
menghasilkan daging, telur, kulit, dan sebagainya;
3. Berapa luas lahan pertanian yang dibutuhkan
untuk menumbuhkan serat-serat seperti kapok, linen, katun, murbai untuk
menghasilkan pakaian dari kain linen, kain katun, kain sutra, dan sebagainya;
4. Berapa luas danau dan laut untuk menghasilkan
ikan yang akan dimakan;
5. Berapa luas lahan yang
dibutuhkan untuk membangun gedung dan jaringan infrastruktur termasuk bahan
bangunan seperti pasir, kerikil, batu alam, dan sebagainya; serta
6. Berapa luas hutan untuk
menghasilkan kayu yang dibutuhkan dan hutan yang diperlukan untuk mengikat CO2
yang terjadi oleh pembakaran minyak bumi dan gas.
Dengan perhatian atas jejak
ekologis bumi, maka dapat diperhatikan masalah sebagai berikut : jejak ekologis
dari semua penduduk bumi mencapai 2.2 ha, sedangkan luas lahan subur di dunia
mencapai 1.8 ha per orang. Bagaimana hal ini dapat terjadi dan pemecahan apa
yang dapat dilakukan pada persoalan ini? Tentu saja, bumi ini hanya dalam
jangka waktu terbatas dapat dieksploitasi sebegitu banyak.
Dalam jangka waktu 1961-2001
penduduk dunia berkembang dua kali lipat. Ketika penggunaan lahan untuk
infrastruktur dan untuk pertanian meningkat sedang, penggunaan lahan untuk
energi meningkat tajam. Bagaimana hal ini dapat terjadi dan pemecahan apa yang
dapat dilakukan pada persoalan ini? Di bidang penggunaan lahan untuk
menghasilkan pangan yang menunjukkan kenaikan besar adalah padang rumput
(karena kenaikan kebutuhan atas daging) serta perikanan (masalah kelebihan
penangkapan ikan telah mewujudkan hasil penangkapan ikan yang turun dari tahun
ke tahun dan banyak jenis ikan akan punah).
Barang-barang konsumsi yang
dihabiskan oleh manusia ternyata ada yang melebihi cadangan bumi. Hal ini
merupakan kenyataan yang tidak berkesinambungan dan tidak dapat dipertahankan
dalam jangka panjang. Perlu diperhatikan bahwa rantai pangan juga mengandung
unsur energi yang tidak kecil dan termasuk juga penggunaan lahan untuk
infrastruktur dan pabrik bahan pangan.
Di bidang kebutuhan energi air,
energi nuklir, energi kayu api, minyak dan gas bumi penggunaan energi fosil
meningkat 17 kali lipat. Bagaimana hal ini dapat terjadi dan pemecahan apa yang
dapat dilakukan pada persoalan ini? Hal ini memperluas area hutan yang
dibutuhkan untuk mengikat CO2 tersebut. CO2 yang diakibatkan oleh pembakaran
minyak bumi dan gas mempengaruhi luasnya hutan yang dibutuhkan untuk mengikat
CO2 tersebut (untuk setiap kendaraan bermotor dibutuhkan rata-rata 5 m2 hutan).
Di sisi lain, hutan memproduksi oksigen yang menjadi dasar kehidupan. Setiap
pohon besar mampu memproduksi 4.580 kg O2/tahun (cukup untuk 4 orang dewasa,
atau menggerakkan mobil sedan sejauh 4.500 km = 2x Banyuwangi-Merak pp).
Semakin besar kiraan global
hektar semakin besar jejak ekologi. Semakin besar jejak ekologi, maksudnya
sumber alam digunakan secara berleluasa tanpa perancangan yang baik. Ini
berlaku kerana permintaan terhadap sumber alam terlalu banyak mengatasi
kemampuan bumi untuk menghasilkan semula bahan yang sudah digunakan. Jadi jejak
ekologi merupakan konsep yang sangat berkait dengan pembangunan yang lestari
serta penerapan konsep kehidupan yang mesra alam. Pembangunan yang terancang
serta mementingkan konsep mesra alam menjadi petunjuk jejak ekologi yang
rendah. Setiap aspek akan diambil kira untuk membangunkan sektor ekonomi
seperti tenaga yang digunakan penggunaan ruang tanah, kesan akibat penggunaan
sumber alam tadi dan langkah penyesuaian atau pemeliharaan serta pemuliharaan
untuk mengekalkan keseimbangan ekologi demi generasi akan datang.
* Perhitungan Jejak Ekologi

1. Sebagian besar konsumsi sumber daya dan
limbah yang dihasilkan manusia dapat dilacak
2. Kebanyakan aliran sumber daya alam dan
limbah dapat dihitungh ke dalam area biologi produktif untuk menelusuri
alirannya. Sumber daya alam dan limbah yang tidak dapat dihitung dikeluarkan
dari penilaian, yang menjadikan hasil perhitungan jejak ekologi ini di bawah
keadaan yang sebenarnya.
3. Dengan pembobotan masing-masing daerah ke
dalam proporsi produktifitas biologi yang digunakan, area yang berbeda dapat
dikonversi ke dalam satuan umum global hektar, yaitu hektar dengan rata-rata
produktifitas biologi dunia.
4. Karena satuan global hektar tunggal
menyatakan satu jenis penggunaan, dan semua global hektar pada satu tahun
menyatakan jumlah produktifitas yang sama, maka global hektar dapat dijumlahkan
untuk mendapatkan indicator agregat jejak ekologi atau daya dukung lingkungan.
5. Permintaan manusia, dinyatakan sebagai
jejak ekologi, dapat secara langsung dibandingkan dengan pasokan alam, daya
dukung lingkungan, ketika keduanya sama-sama dinyatakan dalam global hektar.
6. Luas area permintaan dapat melebihi luas
area yang disediakan jika permintaan pada ekosistem melebihi kapasitas
regenerative ekosistem (misalnya, manusia menuntut lebih dibandingkan daya
dukung hutan, perikanan, dari ekosistem yang telah tersedia). Situasi ini, dimana
jejak ekologi melebih tersedia daya dukung lingkungan, dikenal sebagai
overshoot.
Dalam perhitungan jejak ekologi,
daratan dan lautan produktif digolongkan menjadi tujuh jenis type dasar:
1. Lahan pertanian, adalah lahan
yang paling produktif secara hayati dibandingkan dengan semua jenis penggunaan
lahan. Digunakan untuk menghasilkan semua produk tanaman, tanaman sawit dan
karet.
2. Lahan penggembalaan, adalah padang rumput dan
tanah dan pepohonan jarang yang digunakan untuk menghasilkan pakan ternak.
3. Lahan hutan, adalah hutan alami atau hutan
tanam yang bisa menghasilkan produk kayu bulat maupun kayu bakar.
4. Lahan perikanan, merupakan daerah tangkapan
komersil yang sekitar 300 km dari pantai karena daerah pesisir merupakan daerah
laut yang paling produktif.
5. Lahan penyerap karbon, merupakan lahan hutan
yang diperlukan untuk penyerapan emisi karbon yang dihasilkan manusia.
6. Lahan terbangun, adalah lahan
yang dihitung berdasarkan luas tanah yang ditutupi oleh infrastruktur,
transportasi, perumahan, struktur industry dan waduk untuk pembangkit tenaga
listrik. Dengan asumsi bahawa apa yang dibangun akan menempati lahan yang
sebelumnya merupakan lahan pertanian, kecuali kita memiliki bukti spesifik
bahwa asumsi ini tidak berlaku. Asumsi ini didasarkan pada pengamatan bahwa
pemukiman manusia yang umumnya terletak di daerah yang sangat subur dengan
potensi untuk menghasilkan lahan pertanian unggulan. Tanah terbangun memiliki
produktifitas secara hayati setara dengan jejak ekologi karena keduanya menjelaskan
perambahan lahan produktif secara hayati oleh infrastruktur fisik.
7. Lahan keanekaragaman hayato,
adalah digunakan untuk menjaga kelangsungan hidup spesies selain manusia, yang
besarnya 12 persen dari total lahan dunia.
Perhitungan jejak ekologi dibagi
menjadi 3 tahap utama. Jejak ekologi individu dihitung berdasarkan semua
material biologi yang dikonsumsi dan semua sampah biologi yang dihasilkan oleh
tiap individu. Dan untuk menghitung jejak ekologi suatu daerah diperoleh dengan
cara menjumlahkan jejak ekologi semua penduduk di daerah tersebut.
Tahap pertama adalah analisis
konsumsi sumber daya biotik (pangan) dengan cara menambahkan produksi dan impor
lalu dikurangi dengan ekspor. Alternatif lain dengan cara menggunakan data
konsumsi penduduk yang didapat secara primer. Jika diperlukan, penyesuaian
dilakukan untuk menghindari perhitungan dobel tipe lahan. Contoh, pakan ternak
berupa biji-bijian dimasukkan dalam perhitungan lahan pertanian tidak pada
lahan rumput penggembalaan. Perhitungan luas lahan yang dibutuhkan untuk
konsumsi pangan didapat dengan cara membagi jumlah pangan yang dikonsumsi per
tahun (ton) dengan produksi tipe lahan atau laut tertentu per tahun (ton per
hektar) dari tempat asal panen.
Langkah ke dua menentukan luas
jejak ekologi dari sampah yang dihasilkan. Dari perspektif jejak ekologi ada 3
kategori sampah dan masing-masing kategori berbeda penanganannya dalam jejak
ekologi.
Kategori pertama adalah sampah
biologi seperti sisa produk pertanian, produk hewan, produk ikan, kayu dan
karbon dioksida yang dihasilkan oleh kayu bakar dan pembakaran bahan bakar
fosil sudah termasuk di dalam secara implisit dalam jejak ekologi jika sampah
ini dihasilkan di dalam suatu proses biologi tertutup. Contoh, lahan
penggembalaan sapi seluas 1 hektar mampu menghasilkan produksi biomassa dan
untuk menyerap sampah biologi yang dihasilkan. Penyerapan sampah yang
dihasilkan dari material biologi yang dipanen tidak dihitung dalam jejak
ekologi. Begitu pula dengan CO2 yang dihasilkan oleh tumbuhan dan pernafasan
manusia, karena sampah ini dihasilkan dalam suatu proses proses biologi
tertutup. Namun CO2 yang dihasilkan oleh akibat pembakaran kayu bakar ataupun
bahan bakar fosil dihitung karena sampah ini dihasilkan oleh aktifitas non
biologi manusia. Adapun lahan yang dibutuhkan untuk menyerap sampah CO2 ini
disebut dengan lahan penyerap karbon. Kemampuan rata-rata hutan dalam
penyerapan karbon dan jumlah emisi CO2 yang dihasilkan adalah data dasar yang
dibutuhkan dalam perhitungan lahan penyerap karbon. Pada perhitungan lahan
penyerap karbon tingkat local, maka kemampuan rata-rata penyerapan karbon hutan
tergantung pada jenis ekosistem hutan local. Hutan alami merupakan penyimpan
karbon (C) tertinggi bila dibandingkan dengan sistem penggunaan lahan (SPL) pertanian,
dikarenakan keragaman pohonnya yang tinggi, dengan tumbuhan bawah dan seresah
di permukaan tanah yang banyak.
Kategori sampah yang ke dua
adalah material yang secara khusus dikirim pada suatu lahan. Jika lahan yang
digunakan adalah lahan produktif, maka jejak lahan ini dihitung sebagai lahan
terbangun yang dipakai sebagai tempat penyimpanan sampah jangka panjang.
Contohnya adalah tempat pembuangan sampah akhir (TPA).
Kategori sampah yang ketiga
adalah polutan dan racun yang tidak bisa diserap ataupun diuraikan oleh proses
biologi seperti plastik atau senyawa kimia. Karena jejak ekologi menghitung
lahan produktif yang digunakan untuk memproduksi materi atau menyerap sampah,
materi seperti plastik dan senyawa kimia tidak dihasilkan oleh proses biologi
atau diserap oleh sistem biologi, maka sampah jenis ini tidak terdefinisi dalam
jejak ekologi. Sehingga sampah ini tidak masuk dalam perhitungan jejak ekologi.
Tahap terakhir perhitungan adalah
menjumlahkan jejak ekologi ke dalam enam tipe lahan yang merupakan gambaran
konsumsi per kapita. Data per kapita yang dikalikan dengan jumlah penduduk
suatu daerah menggambarkan jejak ekologi daerah tersebut. Hasil ini kemudian
dibandingkan biokapasitas lahan yang ada.
* Jejak Ekologis dan Pengaruh
Atas Pembangunan
Ketentuan bahwa 50% dari segala
bahan yang diambil dari bumi yang akan digunakan di bidang pembangunan harus
dipertimbangkan kembali. Dalam angka absolute, hal ini berarti bahwa
pembangunan global membutuhkan 600.000.000 m3 bahan baku setiap tahun dan dengan
begitu pengaruhnya atas jejak ekologis sangat berarti. Keadaan tersebut
menunjukkan betapa penting perhatian pada rantai bahan dan pelaksanaan
manajemen bahan bangunan. Selain eksploitasi bahan bangunan tersebut,
perpindahan bahan itu dari tempat semula ke tempat bangunan bisa juga sangat
jauh dan dengan demikian mencemari lingkungan dan memperluas jejak ekologisnya.
Tumbuhan sebagai makhluk tetap
berada di tempat pengolahan sampah dalam rangka kerja sama dengan organisme
perombak sehingga lingkungan hidupnya tetap terjaga. Lain halnya dengan makhluk
yang dapat berpindah-pindahh tempat, misalnya manusia. Ketidakperhatian pada
rantai bahan sebagai peredaran alam mengakibatkan penyakit menular dan merusak
lingkungan alam sekitar. Pengertian rantai bahan sebagai sistem linear, yaitu
bahan alami dieksploitasi/dipanen kemudian diolah, dimanfaatkan, dan akhirnya
dibuang sebagai sampah seharusnya diubah menjadi peredaran bahan yang makin
lama makin integral.
* Implementasi Penghitungan
Jejak Ekologis

Sangat disadari bahwa dalam
penghitungan telapak ekologis banyak asumsi yang digunakan, antara lain dalam
mengkonversi berbagai jenis produksi hayati, dan dalam memaknai berbagai jenis
konsumsi. Selain itu, penghitungan telapak ekologis juga sangat tergantung pada
ketersediaan dan akurasi data. Oleh karena itu, pemahaman terhadap setiap tahap
dan komponen penghitungan sangatlah penting dalam pemaknaan hasil akhir
penghitungan.
Terlepas dari tujuan global
penghitungan telapak ekologis, yaitu untuk pembandingan pola dan tingkat
produksi dan konsumsi antar negara, komponen penghitungan telapak ekologis
cukup menunjukkan bahwa banyak aspek pembangunan yang seharusnya bisa mengacu
kepada angka yang diperoleh dari setiap tahap penghitungan, tidak hanya dari
angka hasil akhir. Perbandingan kapasitas hayati antar masing-masing jenis
penggunaan lahan pada suatu wilayah; perbandingan antara kapasitas hayati
(biocapacity) dan telapak ekologis (ecological footprint) untuk masing-masing jenis
kapasitas hayati dan telapak ekologis pada suatu wilayah; perbandingan
kapasitas hayati dan telapak ekologis antar wilayah; serta ketergantungan
produksi hayati suatu wilayah dengan wilayah lain; merupakan contoh komponen
penghitungan yang selayaknya diperhatikan dalam perencanaan pembangunan.
Hal lain, memahami bahwa kajian
telapak ekologis didasarkan pada penghitungan data statistik, akan sangat
bermanfaat apabila kajian ini dipadukan dengan analisis berdasarkan data
spasial. Informasi spasial dan statistik akan saling melengkapi serta menjadi
acuan yang lebih baik dalam perencanaan pembangunan wilayah. Selain itu,
mengantisipasi berbagai dampak lingkungan yang mengindikasikan
ketidakberlanjutan, komponen lingkungan hidup lain kiranya dapat diperhatikan
pula dalam perencanaan pembangunan, seperti daya dukung air, kemampuan lahan
(land capability), dan kerentanan ekosistem.
http://sutrisarisabrinanainggolan.blogspot.com/2013_03_01_archive.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar